“Jadi ikutan gak
dek?”
Sebuah pesan singkat yang baru saja masuk. Di
layar kaca handphone ku tertulis dengan jelas nama pengirim pesan singkat
tersebut. “–Abang-“ Namanya tertulis dengan special bukan di handphone ku?
“Aku gak bisa pergi
nih kayaknya, kamu aja sama anak-anak. Mama minta temenin pergi ke dokter”
Balasan
sms ku sudah sangat terlihat jelas. Hari ini ada pertandingan penting sekolah
kami. Pertandingan final basket antara sekolah ku dengan musuh abadi kami yaitu
SMA BRITO’S. Pertandingan yang sudah sangat-sangat aku nantikan, namun sayang
aku lebih memilih permintaan mama untuk menemaninya pergi ke dokter. Pilihan
yang teramat sulit, tapi aku lebih mengenyampingkan ego ku dan kepentingan ku
demi mama.
“Yaudah, salam buat
mama dek. Semoga cepat sembuh ya”
∞ ∞ ∞
“Hiyaaaa Denayuuuuuu” teriakan lengkingan yang
muncul dari salah satu koridor sekolah. Suara cemprengnya sudah membuat ku
paham betul siapa yang berani meneriakiku seperti itu di koridor yang sangat
ramai saat jam istirahat. Saking malunya aku oleh tingkah-lakunya, aku berjalan
lebih cepat, menjauh dari kerumunan anak-anak yang sudah mulai melirik kiri dan
kanan. Kaki pendek dan tubuh mungilnya ternyata bisa mengelabui ku, dari arah
belakang dia meloncat dan memberikan ku hantaman kuat agar bisa menjatuhkan
tubuh tinggi ku.
“Apaan sih, sakit tau! Mulai deh reseknya!”
Jerit ku kesakitan.
“Kamu tuh kemarin kemana? Ditanyain anak-anak
tuh kenapa semalem gak datang, padahal kita MENAAANG NYET MENAAANG!”
“Iya, aku udah tau. Seisi sekolah juga udah pada
ngomongin” obrolan kami seputar sejarah baru yang berhasil dipecahkan sekolah
kami, memenangkan perlombaan basket terbesar se-provinsi membuat tim basket
tengah dieluh-eluhkan seisi sekolah.
“Oh iya kamu dicariin Bagas tuh, katanya dia gak
ngeliat kamu ke kantin”
“Lagi males kantin, rame banget. Aku balikin
buku ke perpus tadi disuruh Pak Charlie. Eh Nar nanti malem jalan aja yuk,
mumpung gak ada jadwal les nih kita. Tapi kamu ya yang ngajakin anak-anak”
“Lha? Kok aku? Suruh Bagas aja sih?”
“Males ah nyuruh dia” jawab ku ketus. Lirikan
tajam dan alis tebal Narvia langsung mengkerut serius begitu melihat reaksi ku
ketika dia menyebut kata Bagas.
“Kenapa? Lagi berantem?” dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya pun langsung menyusul tanpa henti dan tanpa sempat aku jawab.
∞ ∞ ∞
“Bang, Narvia sama
anak-anak udah di Café Kick. Aku rada telat nih, kamu duluan aja. Gak usah jemput
aku”
“Iya dek. Kamu
hati-hati ya dijalan”
Percakapan yang sudah tak asing lagi, entah itu
lewat pesan singkat sms ataupun saat berhadapan langsung. “Abang-Adek”. Entah
bagaimana ini dimulai dan bisa terbentuk. Aku pun tak tau sejak kapan hal ini
semacam jadi kewajiban satu dan lainnya antara kami untuk menggunakan kata
tersebut. Anak-anak lainnya semacam paham dan mulai memaklumi tingkah kami.
Kata mereka itu aneh? Jelas ini aneh. Coba tanya hubungan apa yang terjadi
antara kami berdua? Tak ada rasanya. Aku hanya seorang gadis yang berobsesi
memiliki saudara karna aku anak tunggal, dan sangat sangat berhadap memiliki
saudara laki-laki. Hanya itu. Hubungan yang dilandasi kami berteman dekat dan
akrab, tapi kami membatasinya hanya dalam lingkup kami hanya sebatas layaknya
saudara kandung, iya seorang kakak dan seorang adik. Itu saja. Mereka bilang
itu hubungan yang terlalu naif antara seorang pria dan wanita. Lalu apa
salahnya? Mereka mulai menjelaskan ini dan itu, mencoba membuka mata dan
pikiran ku. Tak lebih cukup rasanya bisa memanggil dia dengan sebut “Abang”
layaknya seorang adik perempuan, seperti yang lainnya yang benar-benar bisa
memiliki saudara.
Berkali-kali bahkan Narvia selalu menjelaskan
kepada ku kalau hubungan kami bisa saja disalah artikan orang lain. Aku selalu
membela diri ku, aku katakan aku nyaman seperti ini. Cukup begini saja rasanya
semua obsesi ku terpenuhi. Bisa memiliki seorang Kakak Laki-laki yang siap
menjaga dan melindungi adik perempuannya, yang selalu ada 24 jam kapan pun
dibutuhkan, yang menjadi pendengar paling setia, yang selalu berkata “apapun
yang terjadi berlindunglah dibalik punggung ku”, yang tak ingin ada air mata
menetes dari mata indah adik perempuannya. Aku hanya gadis kecil yang selalu
berharap impian-impian dan obsesi ku bisa terwujud.
Bagas. Aku menemukan sosok Kakak yang aku
impikan ada padanya. Komplite. Sempurna. Semua yang aku bayangkan ada pada
dirinya. Paket sempurna yang dikirim Tuhan untuk ku. Dia memperlakukan ku
spesial, menjaga ku dengan sangat baik bahkan dari bullyan anak-anak yang walau
hanya bercanda, dia membuat ku seperti gadis kecil yang selalu membutuhkan
perlindungan, dia tahu bagaimana membuat ku merasa tenang ketika aku dalam
masalah besar, dia tahu bagaimana membagi rasa sakit ku untuk dirinya juga
supaya beban ku berkurang, dan hanya dia yang bisa lakukan itu semua. Tapi
tenang, aku bukan satu-satunya yang sangat sangat spesial di hidupnya, seorang
wanita berparas cantik dan anggun telah membuatnya jatuh kedalam cinta yang
begitu teramat. Rasa sayang yang dimilikinya mungkin bisa ia bagi kepada ku,
tapi rasa cinta yang dimilikinya hanya untuk wanita itu. Iya hanya untuk wanita
itu, berkali-kali mungkin aku pernah terabaikan tapi tidak dengan wanita itu.
Wanita yang sangat ia cintai, aku paham betul, dan aku paham betul begitu berat
pekerjaannya ketika harus “mengurusi” dua wanita sekaligus, berbagi waktu dan
perhatiannya kepada dua wanita bukanlah pekerjaan yang mudah. Dia tak pernah
lupa untuk mengucapkan “Selamat Pagi” ketika aku baru membuka mata dan melihat
handphone ku, dan selalu berujar “Selamat Malam” dipenghujung hari yang telah
dilewati.
Terkadang Narvia pernah begitu kesal dengan
tingkah ku, ketika orang-orang mulai menganggap ku sebagai penganggu dihubungan
mereka. Dan tak ada yang bisa aku lakukan. Bukankah benar? Memang apa yang bisa
aku lakukan? Aku ini siapa? Beraninya marah oleh perkatan orang-orang itu.
Bukannya memang seharusnya aku tak boleh marah, wanita itu jelas jelas adalah
kekasih hatinya pemilik sebagian kekosongan yang ada pada jiwanya. Lalu jika
aku ditanya siapa aku? Mungkin akan ku jawab “Benalu”. Orang lain berhak mengatai
aku bodoh, tak punya harga diri tinggi, terlalu gampangan, orang ketiga,
perusak hubungan, perempuan tanpa status dan yang paling membuat ku kesal
setengah mati ketika orang-orang yang sebenarnya tak mengenal ku itu berkata
bahwa aku hanya dipermainkan olehnya..
Terkadang kita tak bisa memilih siapa saja
orang-orang yang pantas untuk mendapatkan rasa sayang kita yang tulus. Begitu
juga aku, aku tak bisa memilih ketika aku ternyata benar-benar memberikan rasa
sayang ku untuk dirinya. Lalu masih salah kah aku? Aku hanya bahagia ada
diurutan k-e-s-e-k-i-a-n diprioritasnya, walau terkadang pernah sesekali muncul
rasa cemburu. Kenapa bukan aku yang pertama? Kenapa lagi-lagi wanita itu?
»»»»»»»»»
“Yuuuuu Denayuuuuu” samar-samar aku mendengar
suara seseorang tengah memanggil-manggil nama ku, dan membuyarkan semua lamunan
panjang yang tengah aku nikmati sendiri dipojok kursi favorite ku di Café Kick.
“Haaaahhh?” jawabku gelagapan mencoba
mengembalikan seluruh nyawan dan pikiran ku yang melayang-layang agar kembali
seuntuhnya kedalam tubuhku “Gimana? Gimana jadinya Mik?” aku langsung berusaha
kembali kepercakapan terakhir kami agar tak ada yang menangkap bahwa aku tengah
asik dengan lamunan ku sedari tadi.
“Gimana apanya? Gue tanya elo mau pesen minum
apa jadinya? Lama banget mikirnya kayak mikirin Negara aja” Protes Miko dan
yang lainnya.
“Hehehe sorry sorry, Mocca Float sama beef teriyaki
aja deh” jawab ku sambil menghela nafas panjang, entah apa yang tengah
menghantui pikiran ku hingga jadi begini belakangan ini. Tiba-tiba terdengar
ada suara deringan dari handphone ku.
»»»»»»
“Kamu kenapa dek?
Lagi ada masalah? Cerita sama Abang”
∞ ∞ ∞