Sajak demi sajak terlalu
sulit untuk dijabarkan, kali ini aku malah terbawa ke suasana yang aku sendiri
tak mengerti ini apa sebenarnya. Aku berusaha mencari dan mencari dalam tanda Tanya
besar yang selalu muncul dipenghujungnya. Tapi yang aku temukan malah kebisuan
dalam kegelapan yang membuatku menjadi takut.
Di Dermaga ini kami
bertemu tuk kembali berpisah.
Dan disini pula, aku
kembali menyerah pada kenyataan yang ada, pada pilihan yang baru saja aku buat.
# # #
“Aku ingin mati saja”
teriak ku di subuh yang masih gelap dan udara dingin masih menyelimuti. Aku sudah
menyerah untuk bertahan. Separuh nyawa ku kini sudah pergi. Aku sudah seperti
mayat hidup yang hanya bisa bernafas. Disini, di Dermaga ini aku mengantarkannya
untuk pergi bertugas sebagai Nahkoda Kapal. Namun sayang, kapalnya mengalami
kecelakan hingga membuatnya hampir mati. Aku sudah merasa bahagia saat
mengetahui bahwa ternyata dia selamat. Tapi kenyataannya dia mengalami amnesia,
hingga tak ingat siapapun termasuk aku. Ini membuatku kehilangan harapan sama
sekali, kenangan saat masih bersama-sama selama 4 tahun rasanya semua hilang. Dan
ini sama menyakitkannya jika mengetahui bahwa dia meninggal. Aku sudah berusaha
sedikit demi sedikit untuk mengingatkannya tentang hubungan kita, tapi semuanya
gagal. Dia tiba-tiba jatuh cinta kepada pasien di rumah sakit yang sama ketika
dia dirawat. Lalu bagaimana dengan aku? ini sudah setahun setelah kejadian itu,
dan tepat dihari ini dia akan menikah dengan wanita yang sekarang ia cintai.
“Ini tak adil buatku”
tangisku kembali pecah. Aku sudah tak mampu untuk menahan semua rasa yang
bergejolak didalam hati ku. Rasanya hancur, rasanya aku lebih baik mati saja. Bahkan
setelah setahun pun dia masih tak bisa mengingat nama ku. Air mata ku sudah tak
bisa berhenti, hingga membuat penglihatan ku menjadi kabur. Tanpa sadar kaki ku
berjalan perlahan tanpa aku perintah lagi, tiba-tiba aku tersandung oleh kaki
ku sendiri hingga membuatku jatuh ke laut. Bodohnya lagi, aku tak bisa
berenang.
# # #
“Mbak? Mbak? Mbak? Kamu baik-baik
saja?” suara panik itu mulai terdengar ditelinga ku, awalnya gelap dan aku tak
bisa melihat apapun. Lalu ku paksa mataku untuk terbuka.
“Uhuk uhuk” aku
mengeluarkan air yang rasanya asin dari dalam mulutku “Sial, asin sekali”
kataku sambil mengeryitkan muka “Aku mau air, aku mau air mineral” kata ku
menyeruh orang yang menyelamatkan nyawaku sebenarnya.
“Ini mbak airnya” dia
memberikan air mineral itu kepada ku, aku bahkan belum melihat wajah orang yang
telah menyelamatkan ku. Aku masih sibuk dengan menyalahkan diriku sendiri yang
begitu bodoh bisa tersandung oleh kaki ku sendiri.
“Harusnya aku tak mati
seperti ini. Ini konyol!! Sumpah ini sangat konyol!! Sungguh aku tak berniat
bunuh diri dengan menenggelamkan diri di laut. Ini diluar rencana ku” aku menggerutu
habis-habisan menyalahkan diri ku sendiri. Dan lelaki yang menyelamatkan ku
tiba-tiba berlalu begitu saja. “Hey!! Anda yang berbaju putih” teriak ku
kepadanya.
“Apalagi? Aku rasa kamu
sudah baik-baik saja” katanya sambil berteriak
“Aku kan belum mengucapkan
terima kasih” aku tak terima dia meninggalkan ku tanpa membawa ku klinik atau
apalah itu namanya.
“Sudah lupakan saja”
# # #
Aku masih saja tak terima
dengan kejadian barusan. Aku terus saja menggerutu mengingat kebodohan ku. Iya memang
benar aku ingin mati, memang benar aku ingin bunuh diri. Tapi tidak dengan cara
seperti ini, cara ini terlalu banyak merepotkan orang. Aku hanya ingin mati
dengan meninggalkan sepucuk surat untuk Ayah dan Ibu lalu aku meneguk obat diet
begitu banyak. Hingga orang-orang akan menganggap ku mati karna Over Dosis obat
diet. Ini jauh lebih terlihat keren daripada orang-orang tahu aku mati karna
menjatuhkan diri ke laut.
Aku memutuskan untuk
segera pergi dari tempat yang penuh kenangan itu dan menuju tempat
pernikahannya. Aku harus memastikan pernikahannya berjalan dengan lancar
walaupun itu sebenarnya munafik. Setidaknya aku ingin melihat diriku sendiri
apakah mampu membuat pernikahannya menjadi kacau.
Hari ini dia terlihat
begitu tampan mengenakan busana pengantin berwarna putih tulang, dan wanita
yang sekarang ia cintai begitu serasi berada disampingnya. Harusnya aku yang
berada di posisi itu, harusnya itu aku bukan wanita itu. Berulang kali
kalimat-kalimat itu yang muncul dipikiran ku. Tangis ku kembali hampir pecah
saat menyaksikan ijab qobul yang begitu sacral. Namun kali ini harus ku tahan,
aku tak mau orang-orang melihat ku dengan pandangan sinis karna tangis ku. Ibunya
sedari tadi memegang erat tangan ku, aku tahu beliau berusaha menguatkan hati
ku untuk menerima ini semua. Tante bilang ini bukan mau ku, dia ataupun kami,
ini jalan Tuhan dan tak ada seorang pun yang mampu melawannya. Tante benar,
jalan Tuhan memang slalu penuh kejutan hingga tak seorangpun yang sanggup
menduga.
Ku beranikan diri ku
untuk memberikan ucapan selamat kepada mereka yang sekarang sudang resmi
menjadi sepasang suami dan istri. Kaki ku gemetar dengan kencang, keringat
dingin menetes dari kening ku, aku seperti orang yang seminggu tak makan lalu
menjadi lemas. Rasa-rasanya aku mau pingsan dihadapannya saja. Namun niatan itu
buru-buru aku tepis, aku tak punya keberanian rasanya membuat pernikahan ini
menjadi kacau. Dan pada akhirnya aku berhasil melewati hal terberat dalam hidup
ku yaitu memberikan ucapan selamat kepada mereka, walaupun di detik itu dia
masih saja tak hafal nama ku dan bertanya kepada istrinya “Apakah dia teman mu
sayang?”.