Rabu, 27 Juni 2012

Jangan Jadi Seperti Aku

Betapa indahnya Indonesia. Kau pasti akan setuju dengan pendapat ku yang satu ini. Negara dunia ketiga yang selalu jadi objek penelitian negara Adikuasa seperti Amerika karna keanekaragaman budaya-nya. Seingat ku pada mata pelajaran sosiologi di bangku SMA guru ku pernah berkata bahwasanya Indonesia itu memiliki masyarakat yang multikultural karna keanekaragaman budayanya.

Coba kau bayangkan betapa banyaknya suku dan etnis di Indonesia dengan bahasa yang berbeda-beda di setiap sukunya. Ada suku Jawa, Batak, Sunda, Melayu, Betawi, Dayak, Bugis, dan masih banyak lainnya yang tak bisa aku sebutkan satu persatu. Selain itu Indonesia dengan 17.500 pulau yang dimiliki juga disebut sebagai Negara Kepulauan. Panaromanya yang indah membuat Indonesia semakin istimewa. Jadi kau pasti akan sependapat saat aku berkata "surganya dunia yaa Indonesia".

Tapi tunggu dulu, jangan kau tanyakan kepada ku saat ini apa suku ku? Jangan pernah jadi orang seperti aku yang tak pernah tahu budaya sukunya sendiri. Hingga pada akhirnya aku disadarkan oleh mereka yang membuat ku setidaknya harus mengetahui budaya suku yang dimana didarah ku harusnya mengalir kebudayaan itu, atau mungkin akan lebih baik lagi jika aku mempelajarinya. Pada dasarnya sebenarnya aku malu saat mereka begitu apiknya menceritakan kebudayaan suku mereka, sementara aku tak tau apapun.

Jangan jadi seperti aku, yang mungkin telat untuk menghargai budaya ku sendiri. Namun setidaknya aku tau tak kan ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Aku terlahir dari kedua orang tua yang memiliki keturunan Jawa Murni. Bapak ku lahir dan dibesarkan di Yogyakarta tepanya di Kulonprogo. Sementara Ibu ku adalah anak dari TNI-AL yang di tugaskan untuk menetap di Pulau bernama Kalimantan, sehingga Ibu ku terlahir di Kota Pontianak. Demi mengadu nasib Bapak ku memutuskan untuk pindah ke Kota Pontianak dan akhirnya bertemu Ibu ku lalu menikah. Aku dibesarkan dengan adat istidat Jawa sebenarnya, aku diajarkan tata krama ketika bertemu orang yang lebih tua, aku juga diberitahu sedikit tentang kebudayaan Jawa. Tapi yang aku ingat, Bapak ku tak pernah mengajarikan ku untuk bisa menggunakan Bahasa Jawa. Seingatku beliau hanya mengajariku angka dari 1-10 dengan menggunakan Bahasa Jawa. Aku tak bisa menyalahkannya kenapa dulu tak mengajariku Bahasa Jawa, mungkin saking terlalu sibuknya dia bekerja sehingga lupa. Dan Ibu ku yang terlahir di Kota Pontianak, meskipun tetap melestarikan adat Jawa karna itu wajib bagi Mbah ku. Tetapi Ibu ku sudah menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa keseharian. Sehingga jadilah aku juga menggunakan Bahasa Melayu karna mengikuti Bahasa Ibu. Meski Bahasa Melayu ku tak sehebat orang-orang yang memang dari Suku Melayu. Dan yang perlu kau tau, tak satupun budaya Melayu yang aku ketahui padahal aku sudah menghabiskan 17 tahun untuk tinggal disana.

Tolong, jangan jadi seperti aku yang hidup di dua kebudayaan sekaligus tapi tak begitu peka terhadap budaya-budaya tersebut hingga akhirnya membuat ku tak tahu apapun. Jadilah orang yang menghargai dan melestarikan budayanya seperti mereka yang aku kenal. Kalau bukan kau siapa lagi yang akan menghargai budaya mu sendiri. Jangan jadi seperti aku yang mungkin baru tersadar sekarang. Aku tahu, aku tak berhak menyalahkan orangtua dan keluarga ku sendiri sekarang, ada saatnya mungkin aku harus mempelajari hal-hal semacam itu sendiri. Agar budaya ku kelak tak HILANG ditelah kejamnya zaman, sehingga nanti anak-cucu ku tidak jadi seperti aku.

-DDA- 220612

Minggu, 24 Juni 2012

Cara ku Menafsirkannya

Aku kembali berteman dengan kesepian malam ini, lalu aku mengambil pensil usang ku serta selembar kertas polos lagi untuk sekedar menemani kesepian ku. Aku tahu ini cuma cara terbaik ku berbagi mengenai cerita-cerita bodohku.

Aku ingin berbalik ke waktu setahun yang lalu saat segala-galanya ada dalam genggaman ku (begitu aku mengingatnya). Keluarga, sahabat, teman bahkan prestasi. Tapi itu mengubah cara berfikir ku, aku yang sebenarnya mengirim diri ku sendiri untuk jauh dari "mereka". Namun, aku malah menyalahkan orang tua ku karna aku terlalu tak sanggup untuk menyalahkan diri ku sendiri.

Iya, aku pergi meninggalkan mereka untuk jarak dan waktu yang tak bisa aku prediksi kapan aku akan bertemu mereka lagi. Difikiran ku hanya dihantui bayang-bayang ketakutan akan mereka. Ketakutan-ketakutan yang pada akhirnya membuatku tertekan selama setengah tahun ini. Aku seolah menyalahkan lagi diri ku sendiri, tapi semakin aku melakukan hal itu aku malah tak mendapatkan kedamaian untuk diriku sendiri.

Lalu pada akhirnya aku menyerah untuk melawan bayangan-bayangan itu. Aku mencoba menikmati segalanya tepat setelah setengah tahun ini. Aku rasa ini jauh lebih baik. Aku menikmati jauh dari mereka, aku menikmati ketika aku ataupun mereka berkata kangen, aku menikmati bertemu dengan orang-orang baru yang hebat, aku juga menikmati kalau ternyata aku bisa mandiri. Dan jujur, aku merasa lebih bahagia.

Hal yang mungkin tak pernah terfikirkan ketika aku masih bersama mereka, aku bisa melakukan hal-hal luar biasa seperti sekarang ini. Segalanya terasa indah saat aku mulai belajar ikhlas, segalanya berbeda saat aku tak lagi mengeluh kepada mereka betapa menyedihkannya saat jauh dari mereka. Aku pun mulai belajar tentang segalanya mulai dari NOL dan mungkin saat ini aku masih ada di angka 1 dan belum bisa mencapai angka 100. Tapi akan aku nikmati proses menuju angka 100 itu, karna yang aku inginkan bukanlah angka 100 namun proses menuju angka 100.

Aku pun belajar berhenti untuk jadi egois meskipun itu berat. Aku belajar melihat sekitarku dari pandangan mata orang lain, bukan hanya dari pandangan mata ku. Saat ada orang-orang baru dalam hidup ku dapat mempercayai aku untuk sekedar berbagi kegelisahan, aku tahu bahwa aku ternyata berharga disini.

Aku mungkin tak akan bisa menjadi peri atau pun dewa penolong karna aku sama seperti orang lainnya, hanya manusia biasa. Namun aku ingin bisa menjadi penghibur luka siapapun, aku ingin menaburkan kegembiraan untuk mereka, yaitu orang-orang baru yang mulai aku cintai. Agar setidaknya aku bisa menjadi orang yang lebih berarti disini. Semoga mereka yang baru aku kenal juga bisa mencintai ku seperti mereka yang lama. Dan aku akan tetap mencintai mereka-mereka 1 juta kali lebih banyak setiap harinya.

-DDA-

Pagi Ku

Pagi ini rasanya kembali seperti pagi sebelumnya, rutinitas yang berisik mengganggu telingga ku dan yang terlintas di fikiran ku hanya ada satu kata yaitu kota. Tapi hangatnya matahari pagi masih bisa aku rasakan walaupun sudah tercampur oleh polusi udara. Kicauan burung di desa yang menenangkan hati berganti dengan suara klakson yang seperti dengan sengajanya dibunyikan sekuat mungkin. Ternyata memang beda, ini memang kota. Seberusaha apapun aku membayangkan tentang damainya desa, yang selalu muncul hanya kota yang gemilau tapi memuakkan.

Aku mulai berjalan untuk mencoba tak melepaskan pagi ku yang takut ku lewatkan. Mungkin pagi di kota tak kan selama pagi di desa, maka mulailah aku nikmati pagi ini agar tak dimakan oleh siang.

Sinar matahari yang mulai menusuk kulit ku dapat ku pahami, jika pagi tak lagi hangat seperti dulu. Mungkin aku tak bisa menyalahkan pagi jika menjadi terlalu kejam sekarang. Kulangkahkan kaki ku untuk memulainya, dengan tatapan mata kosong serta aroma angin kota yang mencoba mengajakku sekedar untuk bercengkrama. Aku pun berjalan pelan melewati orang-orang yang dengan segala kesibukannya di pagi hari begitu tegangnya melewati pagi yang sedikit nakal hari ini. Dengan tatapan mata yang masih kosong ini, aku pun tertawa kecil karna aku juga pernah ada diposisi mereka tapi tidak untuk hari ini.

Pagi ku tak lama lagi akan dimakan oleh siang, matahari pun semakin menunjukan kekuatannya. Ini pertanda bahwa pagi yang sedang aku nikmati telah usai. Dan aku harus kembali keperaduan ku untuk mencoba melihat tentang siang. Dan kesibukan akan pagi juga telah usai, segalanya yang indah di pagi hari sekarang begitu berkilauan karna panasnya sengatan matahari.

-DDA-