Minggu, 30 Agustus 2015

Puisi "Nasi" oleh Chun Yang Hee


Pada mu yang selalu makan banyak nasi karena kesepian.

Pada mu yang banyak tidur karena bosan.

Pada mu yang banyak menangis karena sedih.

Aku menulisnya.

Kunyah perasaan mu saat terpojok seolah kau mengunyah nasi.

Lagi pula, hidup adalah sesuatu yang perlu kau cerna.


-Chun Yang Hee-

Selamat Jalan

Kalau ini adalah sepucuk surat terakhir.
Maka akan ku tuliskan dengan beribu perasaan indah ketika menulisnya.
Kalau ini adalah penghormatan terakhir.
Maka akan ku tuliskan hal-hal indah yang membuat ku melupakan dinginnya air mata yang pernah jatuh.

Kalau ini adalah pelipur lara, pengobat rindu, dan rasa ikhlas.
Maka akan ku tuliskan ucapan “Selamat Jalan” yang paling berarti.
Bukan untuk melupakan, tapi untuk selalu mengingatnya di dalam hati.

Kalau ini adalah cara ku untuk tak menangisinya lagi.
Maka akan ku buat air mata ku berhenti mengalir, agar dirinya bisa bahagia disana.
Kalau ini adalah kehilangan.
Maka akan selalu ku percaya bahwa selalu ada rencana Indah Tuhan.

Teruntuk kami yang sedikit berkecil hati karna Tuhan lebih menyayangi dia untuk menjaganya lebih baik dari pada kami.
Maka kami harus berlapang dada, berbesar hati, dan mengikhlaskan.
Ketika kami bersedih begitu dalam, kami percaya bahwa dia sudah bahagia bersama Tuhan.

Tunggulah kami dari sana, lihatlah kami dari sana bahwa kami disini akan baik-baik saja, percayalah kami bahwa akan selalu ada tempat spesial untuk mu di hati kami.

Selamat Jalan, seseorang yang sudah seperti ayah bagi kami, paman bagi kami, sahabat bagi kami, penghibur bagi kami, pembuat senyum dan canda tawa bagi keluarga kami.


Dengan Setulus Hati,



Yogyakarta, 7 Mei 2015.


P.S. Teruntuk Paman Kami Alm. Syamsyudin Bin Sukardi Joyo

Sabtu, 15 Agustus 2015

Zona "SALAH PAHAM"

“Jadi ikutan gak dek?”
Sebuah pesan singkat yang baru saja masuk. Di layar kaca handphone ku tertulis dengan jelas nama pengirim pesan singkat tersebut. “–Abang-“ Namanya tertulis dengan special bukan di handphone ku?
Aku gak bisa pergi nih kayaknya, kamu aja sama anak-anak. Mama minta temenin pergi ke dokter”
 Balasan sms ku sudah sangat terlihat jelas. Hari ini ada pertandingan penting sekolah kami. Pertandingan final basket antara sekolah ku dengan musuh abadi kami yaitu SMA BRITO’S. Pertandingan yang sudah sangat-sangat aku nantikan, namun sayang aku lebih memilih permintaan mama untuk menemaninya pergi ke dokter. Pilihan yang teramat sulit, tapi aku lebih mengenyampingkan ego ku dan kepentingan ku demi mama.
“Yaudah, salam buat mama dek. Semoga cepat sembuh ya”
∞ ∞ ∞
“Hiyaaaa Denayuuuuuu” teriakan lengkingan yang muncul dari salah satu koridor sekolah. Suara cemprengnya sudah membuat ku paham betul siapa yang berani meneriakiku seperti itu di koridor yang sangat ramai saat jam istirahat. Saking malunya aku oleh tingkah-lakunya, aku berjalan lebih cepat, menjauh dari kerumunan anak-anak yang sudah mulai melirik kiri dan kanan. Kaki pendek dan tubuh mungilnya ternyata bisa mengelabui ku, dari arah belakang dia meloncat dan memberikan ku hantaman kuat agar bisa menjatuhkan tubuh tinggi ku.
“Apaan sih, sakit tau! Mulai deh reseknya!” Jerit ku kesakitan.
“Kamu tuh kemarin kemana? Ditanyain anak-anak tuh kenapa semalem gak datang, padahal kita MENAAANG NYET MENAAANG!”
“Iya, aku udah tau. Seisi sekolah juga udah pada ngomongin” obrolan kami seputar sejarah baru yang berhasil dipecahkan sekolah kami, memenangkan perlombaan basket terbesar se-provinsi membuat tim basket tengah dieluh-eluhkan seisi sekolah.
“Oh iya kamu dicariin Bagas tuh, katanya dia gak ngeliat kamu ke kantin”
“Lagi males kantin, rame banget. Aku balikin buku ke perpus tadi disuruh Pak Charlie. Eh Nar nanti malem jalan aja yuk, mumpung gak ada jadwal les nih kita. Tapi kamu ya yang ngajakin anak-anak”
“Lha? Kok aku? Suruh Bagas aja sih?”
“Males ah nyuruh dia” jawab ku ketus. Lirikan tajam dan alis tebal Narvia langsung mengkerut serius begitu melihat reaksi ku ketika dia menyebut kata Bagas.
“Kenapa? Lagi berantem?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya pun langsung menyusul tanpa henti dan tanpa sempat aku jawab. 
  ∞ ∞ ∞
“Bang, Narvia sama anak-anak udah di Café Kick. Aku rada telat nih, kamu duluan aja. Gak usah jemput aku”
“Iya dek. Kamu hati-hati ya dijalan”
Percakapan yang sudah tak asing lagi, entah itu lewat pesan singkat sms ataupun saat berhadapan langsung. “Abang-Adek”. Entah bagaimana ini dimulai dan bisa terbentuk. Aku pun tak tau sejak kapan hal ini semacam jadi kewajiban satu dan lainnya antara kami untuk menggunakan kata tersebut. Anak-anak lainnya semacam paham dan mulai memaklumi tingkah kami. Kata mereka itu aneh? Jelas ini aneh. Coba tanya hubungan apa yang terjadi antara kami berdua? Tak ada rasanya. Aku hanya seorang gadis yang berobsesi memiliki saudara karna aku anak tunggal, dan sangat sangat berhadap memiliki saudara laki-laki. Hanya itu. Hubungan yang dilandasi kami berteman dekat dan akrab, tapi kami membatasinya hanya dalam lingkup kami hanya sebatas layaknya saudara kandung, iya seorang kakak dan seorang adik. Itu saja. Mereka bilang itu hubungan yang terlalu naif antara seorang pria dan wanita. Lalu apa salahnya? Mereka mulai menjelaskan ini dan itu, mencoba membuka mata dan pikiran ku. Tak lebih cukup rasanya bisa memanggil dia dengan sebut “Abang” layaknya seorang adik perempuan, seperti yang lainnya yang benar-benar bisa memiliki saudara.
Berkali-kali bahkan Narvia selalu menjelaskan kepada ku kalau hubungan kami bisa saja disalah artikan orang lain. Aku selalu membela diri ku, aku katakan aku nyaman seperti ini. Cukup begini saja rasanya semua obsesi ku terpenuhi. Bisa memiliki seorang Kakak Laki-laki yang siap menjaga dan melindungi adik perempuannya, yang selalu ada 24 jam kapan pun dibutuhkan, yang menjadi pendengar paling setia, yang selalu berkata “apapun yang terjadi berlindunglah dibalik punggung ku”, yang tak ingin ada air mata menetes dari mata indah adik perempuannya. Aku hanya gadis kecil yang selalu berharap impian-impian dan obsesi ku bisa terwujud.
Bagas. Aku menemukan sosok Kakak yang aku impikan ada padanya. Komplite. Sempurna. Semua yang aku bayangkan ada pada dirinya. Paket sempurna yang dikirim Tuhan untuk ku. Dia memperlakukan ku spesial, menjaga ku dengan sangat baik bahkan dari bullyan anak-anak yang walau hanya bercanda, dia membuat ku seperti gadis kecil yang selalu membutuhkan perlindungan, dia tahu bagaimana membuat ku merasa tenang ketika aku dalam masalah besar, dia tahu bagaimana membagi rasa sakit ku untuk dirinya juga supaya beban ku berkurang, dan hanya dia yang bisa lakukan itu semua. Tapi tenang, aku bukan satu-satunya yang sangat sangat spesial di hidupnya, seorang wanita berparas cantik dan anggun telah membuatnya jatuh kedalam cinta yang begitu teramat. Rasa sayang yang dimilikinya mungkin bisa ia bagi kepada ku, tapi rasa cinta yang dimilikinya hanya untuk wanita itu. Iya hanya untuk wanita itu, berkali-kali mungkin aku pernah terabaikan tapi tidak dengan wanita itu. Wanita yang sangat ia cintai, aku paham betul, dan aku paham betul begitu berat pekerjaannya ketika harus “mengurusi” dua wanita sekaligus, berbagi waktu dan perhatiannya kepada dua wanita bukanlah pekerjaan yang mudah. Dia tak pernah lupa untuk mengucapkan “Selamat Pagi” ketika aku baru membuka mata dan melihat handphone ku, dan selalu berujar “Selamat Malam” dipenghujung hari yang telah dilewati.  
Terkadang Narvia pernah begitu kesal dengan tingkah ku, ketika orang-orang mulai menganggap ku sebagai penganggu dihubungan mereka. Dan tak ada yang bisa aku lakukan. Bukankah benar? Memang apa yang bisa aku lakukan? Aku ini siapa? Beraninya marah oleh perkatan orang-orang itu. Bukannya memang seharusnya aku tak boleh marah, wanita itu jelas jelas adalah kekasih hatinya pemilik sebagian kekosongan yang ada pada jiwanya. Lalu jika aku ditanya siapa aku? Mungkin akan ku jawab “Benalu”. Orang lain berhak mengatai aku bodoh, tak punya harga diri tinggi, terlalu gampangan, orang ketiga, perusak hubungan, perempuan tanpa status dan yang paling membuat ku kesal setengah mati ketika orang-orang yang sebenarnya tak mengenal ku itu berkata bahwa aku hanya dipermainkan olehnya..
Terkadang kita tak bisa memilih siapa saja orang-orang yang pantas untuk mendapatkan rasa sayang kita yang tulus. Begitu juga aku, aku tak bisa memilih ketika aku ternyata benar-benar memberikan rasa sayang ku untuk dirinya. Lalu masih salah kah aku? Aku hanya bahagia ada diurutan k-e-s-e-k-i-a-n diprioritasnya, walau terkadang pernah sesekali muncul rasa cemburu. Kenapa bukan aku yang pertama? Kenapa lagi-lagi wanita itu?
»»»»»»»»»
“Yuuuuu Denayuuuuu” samar-samar aku mendengar suara seseorang tengah memanggil-manggil nama ku, dan membuyarkan semua lamunan panjang yang tengah aku nikmati sendiri dipojok kursi favorite ku di Café Kick.
“Haaaahhh?” jawabku gelagapan mencoba mengembalikan seluruh nyawan dan pikiran ku yang melayang-layang agar kembali seuntuhnya kedalam tubuhku “Gimana? Gimana jadinya Mik?” aku langsung berusaha kembali kepercakapan terakhir kami agar tak ada yang menangkap bahwa aku tengah asik dengan lamunan ku sedari tadi.
“Gimana apanya? Gue tanya elo mau pesen minum apa jadinya? Lama banget mikirnya kayak mikirin Negara aja” Protes Miko dan yang lainnya.
“Hehehe sorry sorry, Mocca Float sama beef teriyaki aja deh” jawab ku sambil menghela nafas panjang, entah apa yang tengah menghantui pikiran ku hingga jadi begini belakangan ini. Tiba-tiba terdengar ada suara deringan dari handphone ku.
»»»»»»
“Kamu kenapa dek? Lagi ada masalah? Cerita sama Abang”
  ∞ ∞ ∞