Minggu, 17 Maret 2013

Kekasih Masa Lalu


Sajak demi sajak terlalu sulit untuk dijabarkan, kali ini aku malah terbawa ke suasana yang aku sendiri tak mengerti ini apa sebenarnya. Aku berusaha mencari dan mencari dalam tanda Tanya besar yang selalu muncul dipenghujungnya. Tapi yang aku temukan malah kebisuan dalam kegelapan yang membuatku menjadi takut.
Di Dermaga ini kami bertemu tuk kembali berpisah.
Dan disini pula, aku kembali menyerah pada kenyataan yang ada, pada pilihan yang baru saja aku buat.
# # #

“Aku ingin mati saja” teriak ku di subuh yang masih gelap dan udara dingin masih menyelimuti. Aku sudah menyerah untuk bertahan. Separuh nyawa ku kini sudah pergi. Aku sudah seperti mayat hidup yang hanya bisa bernafas. Disini, di Dermaga ini aku mengantarkannya untuk pergi bertugas sebagai Nahkoda Kapal. Namun sayang, kapalnya mengalami kecelakan hingga membuatnya hampir mati. Aku sudah merasa bahagia saat mengetahui bahwa ternyata dia selamat. Tapi kenyataannya dia mengalami amnesia, hingga tak ingat siapapun termasuk aku. Ini membuatku kehilangan harapan sama sekali, kenangan saat masih bersama-sama selama 4 tahun rasanya semua hilang. Dan ini sama menyakitkannya jika mengetahui bahwa dia meninggal. Aku sudah berusaha sedikit demi sedikit untuk mengingatkannya tentang hubungan kita, tapi semuanya gagal. Dia tiba-tiba jatuh cinta kepada pasien di rumah sakit yang sama ketika dia dirawat. Lalu bagaimana dengan aku? ini sudah setahun setelah kejadian itu, dan tepat dihari ini dia akan menikah dengan wanita yang sekarang ia cintai.
“Ini tak adil buatku” tangisku kembali pecah. Aku sudah tak mampu untuk menahan semua rasa yang bergejolak didalam hati ku. Rasanya hancur, rasanya aku lebih baik mati saja. Bahkan setelah setahun pun dia masih tak bisa mengingat nama ku. Air mata ku sudah tak bisa berhenti, hingga membuat penglihatan ku menjadi kabur. Tanpa sadar kaki ku berjalan perlahan tanpa aku perintah lagi, tiba-tiba aku tersandung oleh kaki ku sendiri hingga membuatku jatuh ke laut. Bodohnya lagi, aku tak bisa berenang.
# # #
“Mbak? Mbak? Mbak? Kamu baik-baik saja?” suara panik itu mulai terdengar ditelinga ku, awalnya gelap dan aku tak bisa melihat apapun. Lalu ku paksa mataku untuk terbuka.
“Uhuk uhuk” aku mengeluarkan air yang rasanya asin dari dalam mulutku “Sial, asin sekali” kataku sambil mengeryitkan muka “Aku mau air, aku mau air mineral” kata ku menyeruh orang yang menyelamatkan nyawaku sebenarnya.
“Ini mbak airnya” dia memberikan air mineral itu kepada ku, aku bahkan belum melihat wajah orang yang telah menyelamatkan ku. Aku masih sibuk dengan menyalahkan diriku sendiri yang begitu bodoh bisa tersandung oleh kaki ku sendiri.
“Harusnya aku tak mati seperti ini. Ini konyol!! Sumpah ini sangat konyol!! Sungguh aku tak berniat bunuh diri dengan menenggelamkan diri di laut. Ini diluar rencana ku” aku menggerutu habis-habisan menyalahkan diri ku sendiri. Dan lelaki yang menyelamatkan ku tiba-tiba berlalu begitu saja. “Hey!! Anda yang berbaju putih” teriak ku kepadanya.
“Apalagi? Aku rasa kamu sudah baik-baik saja” katanya sambil berteriak
“Aku kan belum mengucapkan terima kasih” aku tak terima dia meninggalkan ku tanpa membawa ku klinik atau apalah itu namanya.
“Sudah lupakan saja”
# # #

Aku masih saja tak terima dengan kejadian barusan. Aku terus saja menggerutu mengingat kebodohan ku. Iya memang benar aku ingin mati, memang benar aku ingin bunuh diri. Tapi tidak dengan cara seperti ini, cara ini terlalu banyak merepotkan orang. Aku hanya ingin mati dengan meninggalkan sepucuk surat untuk Ayah dan Ibu lalu aku meneguk obat diet begitu banyak. Hingga orang-orang akan menganggap ku mati karna Over Dosis obat diet. Ini jauh lebih terlihat keren daripada orang-orang tahu aku mati karna menjatuhkan diri ke laut.
Aku memutuskan untuk segera pergi dari tempat yang penuh kenangan itu dan menuju tempat pernikahannya. Aku harus memastikan pernikahannya berjalan dengan lancar walaupun itu sebenarnya munafik. Setidaknya aku ingin melihat diriku sendiri apakah mampu membuat pernikahannya menjadi kacau.
Hari ini dia terlihat begitu tampan mengenakan busana pengantin berwarna putih tulang, dan wanita yang sekarang ia cintai begitu serasi berada disampingnya. Harusnya aku yang berada di posisi itu, harusnya itu aku bukan wanita itu. Berulang kali kalimat-kalimat itu yang muncul dipikiran ku. Tangis ku kembali hampir pecah saat menyaksikan ijab qobul yang begitu sacral. Namun kali ini harus ku tahan, aku tak mau orang-orang melihat ku dengan pandangan sinis karna tangis ku. Ibunya sedari tadi memegang erat tangan ku, aku tahu beliau berusaha menguatkan hati ku untuk menerima ini semua. Tante bilang ini bukan mau ku, dia ataupun kami, ini jalan Tuhan dan tak ada seorang pun yang mampu melawannya. Tante benar, jalan Tuhan memang slalu penuh kejutan hingga tak seorangpun yang sanggup menduga.
Ku beranikan diri ku untuk memberikan ucapan selamat kepada mereka yang sekarang sudang resmi menjadi sepasang suami dan istri. Kaki ku gemetar dengan kencang, keringat dingin menetes dari kening ku, aku seperti orang yang seminggu tak makan lalu menjadi lemas. Rasa-rasanya aku mau pingsan dihadapannya saja. Namun niatan itu buru-buru aku tepis, aku tak punya keberanian rasanya membuat pernikahan ini menjadi kacau. Dan pada akhirnya aku berhasil melewati hal terberat dalam hidup ku yaitu memberikan ucapan selamat kepada mereka, walaupun di detik itu dia masih saja tak hafal nama ku dan bertanya kepada istrinya “Apakah dia teman mu sayang?”.


1 komentar: