Katanya hanya
perlu melihat sesuatu dari segala sudut yang berbeda untuk menemukan jawaban.
Tetapi bersiaplah untuk kecewa sebab jawaban sejatinya tak dapat ditemukan.
Jika terus menerus mencari hanya akan mendapatkan jawaban yang berupa tanda
tanya. Tapi jangan terlalu bersedih hati, tak perlulah mencari semua jawaban
atas pertanyaan yang sudah dilontarkan. Karna semuanya masih abu-abu, belum
bisa ditafsirkan jika belum mendapatkan tanda-tanda.
Katanya,
hari ini langit mendung, tak perlu orang-orang kaget ataupun merasa cemas
mengenai langit belakangan ini. Ini bukan tentang pertanda kiamat yang sekarang
sedang asyik menjadi buah bibir. Ini hanya tentang musim penghujan yang memang
datang menghampiri Indonesia. Jadi orang-orang mulai terbiasa jika hujan tiba-tiba
muncul, ketika langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, ketika angin begitu
menjadi tak bersahabat, dan ketika orang-orang enggan untuk keluar dari tempat
amannya. Tapi lain halnya aku, aku disini masih menunggu hujan mengantarkan ku
pulang ke singgahsana ku yang nyaman. Namun hujan sepertinya sedikit ngambek
kepada awan (mungkin). Karna setelah seharian aku menunggunya untuk menari
bersama-sama, tak kunjung datang lagi.
Aku
masih setia menunggu, berharap hujan datang lagi ditempat sekering ini. Setelah
sekian lama yang mampu ku ingat, rasanya aku sudah tak pernah menari tarian
hujan. Ibu berkata kepada ku teruslah berdoa kepada Tuhan dan alam semesta ini
supaya memberikan air-air yang berharga itu. Ayah bahkan hanya menggelengkan
kepalanya jika melihatku duduk bersimpuh di depan jendela berharap hujan turun
hari ini. Kami tak kekurangan air, kami masih bisa mandi, minum, mencuci dan
menggunakan air sewajarnya. Tapi kami tak bisa melihat hujan datang, sebab kami
membeli semua persediaan air yang ada di rumah.
- - -
“Apa
yang sedang kamu lakukan disini?” Tanya seseorang kepada ku dengan tatapan
sinis, aku melihat ada tanda Tanya besar di atas kepalanya.
“Saya?
Siapa? Apa yang kamu maksud itu saya?” aku kaget melihat ada orang yang menegur
ku setelah sudah hampir berbulan-bulan aku melakukan hal yang sama seperti ini,
namun tak pernah ada yang perduli.
“Iya,
aku sedang berbicara kepada mu. Apa yang kamu lakukan di kaki gunung saat senja
seperti ini?” Dia terlihat seperti penasaran dengan apa yang aku lakukan.
“Saya
hanya sedang berdoa untuk Alam Semesta, sepertinya kamu adalah seorang
pendaki?” lalu aku pun tersenyum melihat ekspresinya yang kaget mendengar
perkataan ku “Saya bukan sedang menyembah Gunung ataupun melakukan hal-hal
musyrik yang anda persepsikan dikepala anda. Alhamdulillah saya masih
mempercayai adanya Allah. Saya sedang berdoa supaya hujan turun disini, sudah
lama sekali hujan tak turun disini dan kami ingin menikmati air tanpa harus
membelinya. Saya terus berdoa kepada Allah dan alam semesta supaya hujan segera
datang, makanya setiap sore saya duduk di kaki gunung sambil berdoa dan
berdzikir atas nama Allah sampai senja selesai saya nikmati dan adzan magrib
pun berkumandang. Itu saja.”
“Ini
aneh, kenapa kamu harus berdoa dibawah kaki Gunung ini?” dia sepertinya tak
puas mendengar jawabanku.
“Kamu
adalah orang pertama yang bertanya apa yang saya lakukan disini. Puluhan bahkan
ratusan pendaki setiap senja saya jumpai melintas di depan saya, namun tak
pernah ada yang bertanya selain menyapa dengan senyuman. Ibu saya berkata
berdoalah kepada Allah sebagai ucapan terimakasih dan rasa syukur karna masih
diberi nyawa hari ini, berdoalah untuk Alam Semesta yang begitu indah dan
menakjubkan ini hasil Maha Karya Allah yang begitu sempurna yang memberikan
setiap kebutuhan manusia agar terpenuhi, berdoalah untuk mbah buyut dan garis
keturunannya sebagai bentuk ucapaan terima kasih, berdoalah untuk siapapun yang
telah diciptakan Allah”
“Lalu
apa hubungannya dengan hujan?” Tanya lelaki itu dengan semangat
“Saya
baru beberapa bulan pindah kesini dan saya mendapati hujan tak kunjung datang
sepertinya. Saya rindu menari tarian hujan dengan gemercik suaranya, maka ibu
berkata kepada saya berdoalah supaya hujan menurunkan air-air yang sangat
berharga. Suatu sore saya berjalan
dibawah kaki gunung ini untuk melihat senja, tiba-tiba saya mendengar suara
gemercik air hujan dan hawa dingin menusuk kulit. Saya mengira hujan datang, namun
saya mendapati ternyata tak setetes pun ada air yang jatuh. Sudahkah kamu mengerti?”
“Sungguh
aku sama sekali tak mengerti maksud mu” katanya dengan penuh harapan supaya aku
bisa menjelaskannya lagi, namun suara adzan magrib sudah berkumandang.
“Saya
harus segera pulang, adzan sudah memanggil saya. Assalamualaikum” aku pun
meninggalkan pendaki itu menuju rumah dengan tanda Tanya besar masih ada
dikepalanya
- - -
“Ibu, saya pergi dulu” kataku saat berpamitan
kepada Ibu
“Kamu
mau ke kaki Gunung lagi? Sudahlah nak, ini sudah lebih dari setahun. Kamu sudah
melakukan hal rutin ini setiap hari. Apa yang kamu cari?” pertanyaan Ibu
membuatku kaget, sebelumnya Ibu tak pernah bertanya mengenai ini. Mungkin ibu
sudah mulai terpengaruh oleh tetangga yang mengatakan aku ‘gila’.
“Ibu
mengajarkan saya untuk berdoa setiap hari, lalu bagaimana bisa saya berhenti
untuk tidak kesana Bu? Hanya disana saya benar-benar merasakan Allah menjawab
doa-doa saya lewat Alam supaya saya bisa merasakan hujan datang”
“Astagfirullah
nak, ada apa dengan hujan? Daerah ini memang sudah ditakdirkan oleh Allah
sebagai daerah yang kering hingga hujan disini datang tak sebanyak di daerah
lain. Kamu pasti paham itu kan? Kamu bukan anak kecil yang harus ibu beritahu
dulu”
“Belasan
tahun Bu saya lahir dan dibesarkan ditempat dimana hujan datang setiap hari
dengan dingin yang sudah seperti penghangat bagi saya. Lalu tiba-tiba kita
pindah kesini, saya tak pernah menyalahkan takdir Allah yang membawa kita
kesini. Tapi saya berharap Ibu tak menjadi seperti orang asing yang ikut
mengamini bahwa saya gila. Saya hanya butuh Ibu mengerti bahwa saya merasa
nyaman dibawah kaki Gunung itu, Ibu paham kan perasaan saya yang masih butuh
waktu untuk terbiasa dengan kondisi disini. Mengertilah saya Bu” mendengar
semua perkataan ku Ibu pun meneteskan air matanya dan aku pun langsung
memeluknya.
“Maafkan
Ibu nak, ini semua salah Ibu. Harusnya Ibu tak memaksa mu untuk ikut pindah
kesini, ini semua salah ibu nak. Ibu yang salah. Ibu yang tak sanggup
mendengarkan para tetangga mengatakan mu gila. Ibu nak yang salah, ibu” ibu pun
menangis sejadi-jadinya dipelukan ku.
“Tak
ada yang salah dan tak ada yang benar Bu. Mereka berhak mengatakan saya ini
gila. Dan ibu juga tak berhak menyalahkan diri Ibu. Dan saya juga tak berhak
marah atas takdir Allah. Karena semua ini memang tidak untuk dijawab, Bu” aku
berusaha menenangkan Ibu, agar tangisnya yang pecah bisa segera berhenti dan
rasa bersalahnya bisa segera hilang.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar