Jumat, 15 Maret 2013

Harapan


Katanya hanya perlu melihat sesuatu dari segala sudut yang berbeda untuk menemukan jawaban. Tetapi bersiaplah untuk kecewa sebab jawaban sejatinya tak dapat ditemukan. Jika terus menerus mencari hanya akan mendapatkan jawaban yang berupa tanda tanya. Tapi jangan terlalu bersedih hati, tak perlulah mencari semua jawaban atas pertanyaan yang sudah dilontarkan. Karna semuanya masih abu-abu, belum bisa ditafsirkan jika belum mendapatkan tanda-tanda.

Katanya, hari ini langit mendung, tak perlu orang-orang kaget ataupun merasa cemas mengenai langit belakangan ini. Ini bukan tentang pertanda kiamat yang sekarang sedang asyik menjadi buah bibir. Ini hanya tentang musim penghujan yang memang datang menghampiri Indonesia. Jadi orang-orang mulai terbiasa jika hujan tiba-tiba muncul, ketika langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, ketika angin begitu menjadi tak bersahabat, dan ketika orang-orang enggan untuk keluar dari tempat amannya. Tapi lain halnya aku, aku disini masih menunggu hujan mengantarkan ku pulang ke singgahsana ku yang nyaman. Namun hujan sepertinya sedikit ngambek kepada awan (mungkin). Karna setelah seharian aku menunggunya untuk menari bersama-sama, tak kunjung datang lagi.
Aku masih setia menunggu, berharap hujan datang lagi ditempat sekering ini. Setelah sekian lama yang mampu ku ingat, rasanya aku sudah tak pernah menari tarian hujan. Ibu berkata kepada ku teruslah berdoa kepada Tuhan dan alam semesta ini supaya memberikan air-air yang berharga itu. Ayah bahkan hanya menggelengkan kepalanya jika melihatku duduk bersimpuh di depan jendela berharap hujan turun hari ini. Kami tak kekurangan air, kami masih bisa mandi, minum, mencuci dan menggunakan air sewajarnya. Tapi kami tak bisa melihat hujan datang, sebab kami membeli semua persediaan air yang ada di rumah.
- - -
“Apa yang sedang kamu lakukan disini?” Tanya seseorang kepada ku dengan tatapan sinis, aku melihat ada tanda Tanya besar di atas kepalanya.
“Saya? Siapa? Apa yang kamu maksud itu saya?” aku kaget melihat ada orang yang menegur ku setelah sudah hampir berbulan-bulan aku melakukan hal yang sama seperti ini, namun tak pernah ada yang perduli.
“Iya, aku sedang berbicara kepada mu. Apa yang kamu lakukan di kaki gunung saat senja seperti ini?” Dia terlihat seperti penasaran dengan apa yang aku lakukan.
“Saya hanya sedang berdoa untuk Alam Semesta, sepertinya kamu adalah seorang pendaki?” lalu aku pun tersenyum melihat ekspresinya yang kaget mendengar perkataan ku “Saya bukan sedang menyembah Gunung ataupun melakukan hal-hal musyrik yang anda persepsikan dikepala anda. Alhamdulillah saya masih mempercayai adanya Allah. Saya sedang berdoa supaya hujan turun disini, sudah lama sekali hujan tak turun disini dan kami ingin menikmati air tanpa harus membelinya. Saya terus berdoa kepada Allah dan alam semesta supaya hujan segera datang, makanya setiap sore saya duduk di kaki gunung sambil berdoa dan berdzikir atas nama Allah sampai senja selesai saya nikmati dan adzan magrib pun berkumandang. Itu saja.”
“Ini aneh, kenapa kamu harus berdoa dibawah kaki Gunung ini?” dia sepertinya tak puas mendengar jawabanku.
“Kamu adalah orang pertama yang bertanya apa yang saya lakukan disini. Puluhan bahkan ratusan pendaki setiap senja saya jumpai melintas di depan saya, namun tak pernah ada yang bertanya selain menyapa dengan senyuman. Ibu saya berkata berdoalah kepada Allah sebagai ucapan terimakasih dan rasa syukur karna masih diberi nyawa hari ini, berdoalah untuk Alam Semesta yang begitu indah dan menakjubkan ini hasil Maha Karya Allah yang begitu sempurna yang memberikan setiap kebutuhan manusia agar terpenuhi, berdoalah untuk mbah buyut dan garis keturunannya sebagai bentuk ucapaan terima kasih, berdoalah untuk siapapun yang telah diciptakan Allah”
“Lalu apa hubungannya dengan hujan?” Tanya lelaki itu dengan semangat
“Saya baru beberapa bulan pindah kesini dan saya mendapati hujan tak kunjung datang sepertinya. Saya rindu menari tarian hujan dengan gemercik suaranya, maka ibu berkata kepada saya berdoalah supaya hujan menurunkan air-air yang sangat berharga.  Suatu sore saya berjalan dibawah kaki gunung ini untuk melihat senja, tiba-tiba saya mendengar suara gemercik air hujan dan hawa dingin menusuk kulit. Saya mengira hujan datang, namun saya mendapati ternyata tak setetes pun ada air yang jatuh. Sudahkah kamu mengerti?”
“Sungguh aku sama sekali tak mengerti maksud mu” katanya dengan penuh harapan supaya aku bisa menjelaskannya lagi, namun suara adzan magrib sudah berkumandang.
“Saya harus segera pulang, adzan sudah memanggil saya. Assalamualaikum” aku pun meninggalkan pendaki itu menuju rumah dengan tanda Tanya besar masih ada dikepalanya
- - -
 “Ibu, saya pergi dulu” kataku saat berpamitan kepada Ibu
“Kamu mau ke kaki Gunung lagi? Sudahlah nak, ini sudah lebih dari setahun. Kamu sudah melakukan hal rutin ini setiap hari. Apa yang kamu cari?” pertanyaan Ibu membuatku kaget, sebelumnya Ibu tak pernah bertanya mengenai ini. Mungkin ibu sudah mulai terpengaruh oleh tetangga yang mengatakan aku ‘gila’.
“Ibu mengajarkan saya untuk berdoa setiap hari, lalu bagaimana bisa saya berhenti untuk tidak kesana Bu? Hanya disana saya benar-benar merasakan Allah menjawab doa-doa saya lewat Alam supaya saya bisa merasakan hujan datang”
“Astagfirullah nak, ada apa dengan hujan? Daerah ini memang sudah ditakdirkan oleh Allah sebagai daerah yang kering hingga hujan disini datang tak sebanyak di daerah lain. Kamu pasti paham itu kan? Kamu bukan anak kecil yang harus ibu beritahu dulu”
“Belasan tahun Bu saya lahir dan dibesarkan ditempat dimana hujan datang setiap hari dengan dingin yang sudah seperti penghangat bagi saya. Lalu tiba-tiba kita pindah kesini, saya tak pernah menyalahkan takdir Allah yang membawa kita kesini. Tapi saya berharap Ibu tak menjadi seperti orang asing yang ikut mengamini bahwa saya gila. Saya hanya butuh Ibu mengerti bahwa saya merasa nyaman dibawah kaki Gunung itu, Ibu paham kan perasaan saya yang masih butuh waktu untuk terbiasa dengan kondisi disini. Mengertilah saya Bu” mendengar semua perkataan ku Ibu pun meneteskan air matanya dan aku pun langsung memeluknya.
“Maafkan Ibu nak, ini semua salah Ibu. Harusnya Ibu tak memaksa mu untuk ikut pindah kesini, ini semua salah ibu nak. Ibu yang salah. Ibu yang tak sanggup mendengarkan para tetangga mengatakan mu gila. Ibu nak yang salah, ibu” ibu pun menangis sejadi-jadinya dipelukan ku.
“Tak ada yang salah dan tak ada yang benar Bu. Mereka berhak mengatakan saya ini gila. Dan ibu juga tak berhak menyalahkan diri Ibu. Dan saya juga tak berhak marah atas takdir Allah. Karena semua ini memang tidak untuk dijawab, Bu” aku berusaha menenangkan Ibu, agar tangisnya yang pecah bisa segera berhenti dan rasa bersalahnya bisa segera hilang.

-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar